Selasa, 21 Desember 2010

Senyawa Kompleks

Senyawa koordinasi/senyawa kompleks adalah senyawa yang terbentuk melalui ikatan koordinasi, yakni  ikatan kovalen koordinasi antara ion/atom pusat dengan ligan (gugus pelindung). Disebut juga sebagai senyawa kompleks karena sulit dipahami pada awal penemuannya. Ikatan kovalen koordinasi yang terjadi merupakan ikatan kovalen (terdapat pasangan elektron yang digunakan bersama) di mana pasangan elektron yang digunakan bersama berasal dari salah satu atom. Ikatan koordinasi bisa terdapat pada kation atau anion senyawa tersebut. Ion/atom pusat merupakan ion/atom bagian dari senyawa koordinasi yang berada di pusat (bagian tengah) sebagai penerima pasangan electron sehingga dapat di sebut sebagai asam Lewis, umumnya berupa logam (terutama logam-logam transisi). Sedangkan ligan atau gugus pelindung merupakan atom/ion bagian dari senyawa koordinasi yang berada di bagian luar sebagai pemberi pasangan elektron sehingga dapat disebut sebagai basa Lewis (Chang,2004).
Senyawa kompleks pertama kali ditemukan oleh Tassert (1798), yaitu CoCl3.6NH3. Senyawa tersebut dianggap aneh karena terbentuk oleh 2 senyawa stabil yang masing-masing valensinya sudah jenuh. Hal ini baru bisa dipahami setelah waktu berlalu sekitar 100 tahun. Selama waktu tersebut banyak senyawa kompleks telah dibuat dan dikaji sifat-sifatnya.
            Teori Medan Ligan
Teori yang berkaitan dengan senyawa kompleks adalah Teori Medan Ligan. Teori medan kristal ini hampir selama 20 tahun semenjak ditemukan hanya digunakan dalam bidang fisika zat padat. Teori medan kristal digunakan pada pakar fisika zat padat untuk menjelaskan warna dan sifat magnetik garam-garam logam transisi terhidrat,khususnya yang memiliki atom pusat ion logam transisi dengan orbital d yang belum sepenuhnya terisi elektro seperti CuSO4.5H2O. Baru pada tahun 1950an. Pada awal tahun 1950an barulah pakar kimia koordinasi menerapkan teori medan kristal.  Teori medan kristal ini digunakan untuk menjelaskan energi kompleks koordinasi. Hal ini didasarkan pada deskripsi ionik pada ikatan logam ligan. Teori medan kristal yang dikemukakan Bethe dilandasi oleh tiga asumsi yaitu :
1.                  Ligan ligan diperlakukan sebagai titik-titik bermuatan.

2.         Interaksi anatara ion logam dengan ligan-ligan dianggap sepenunya     sebagai interaksi elektrostatik(ionik). Apabila ligan yang ada merupakan ligan netral seperti NH3, dan H2O, maka dalam interaksi tersebut ujung negatif dari dipol dalam molekul-molekul netral diarahkan terhadap ion logam.
           
3.         Tidak terjadi interaksi antara orbital-orbital dari ion logam dengan orbital-orbital dari ligan.
4.         H2O, maka dalam interaksi tersebut ujung negative dari dipol dalam molekul-molekul netral diarahkan terhadap  ion logam.
5.         Tidak terjadi interaksi antara orbital-orbital dari ion logam dengan orbital-orbital dari ligan.
(Effendy,2007)
Menurut teori medan kristal atau crystal field theory (CFT), ikatan antar atom pusat dan ligand dalam kompleks berupa ikatan ion, hingga gaya-gaya yang ada hanya berupa gaya elektrostatik dari percobaan-percobaan yang diperoleh bahwa ada ligan-ligan yang menghasilkan medan listrik yang kuat dan yang disebut strong ligan field, ada ligan yang sebaliknya dan disebut weak ligan field.
Menurut medan kristal atau crystal field theory (CFT), ikatan antara atom pusat dan ligan dalam kompleks berupa ikatan ion, hingga gaya yabng ada hanya berupa gaya elektrostatik. Ion kompleks tersusun dari ion pusat yang dikelilingi oleh ion-ion lawan atau molekul-molekul yang mempunyai momen dipol permanen.
Medan listrik dari ion pusat akan mempengaruhi ligand-ligand sekelilingnya, sedang medan gabungan dari ligand-ligand akan mempengaruhi elektron-elektron dari ion pusat. Pengaruh ligan ini terutama mengenai elektron d dari ion pusat dan ion kompleks dari logam- logam transisi. Pengaruh ligand tergantung dari jenisnya, terutama pada kekuatan medan listrik dan kedudukan geometri ligand-ligand dalam kompleks.
Didalam ion bebas kelima orbitald bersifatdegen erate artinya mempunyai energi yang sama dan elektron dalam orbital ini selalu memenuhi hukum multiplicity yang maksimal. Teori medan kristal terutama membicarakan pengaruh ligand yang tersusun secara berbeda-beda disekitar ion pusat terhadap energi dari orbitald. Pembagian orbital d menjadi dua golongan yaitu orbital eg ataudj dan orbital t2g atau de mempunyai arti penting dalam hal pengaruh ligan terhadap orbital-orbital tersebut.
Dengan adanya ligand disekitar ion pusat orbital d tidak lagi degenerate, orbital d ini terbagi menjadi beberapa orbital dengan energi berbeda. Dikatakan juga orbital d ini mengalami splitting.
Bila kelima orbital d sama dengan dan medan ligand mempengaruhi kelimanya dengan cara yang sama maka kelima orbital d ini akan tetapdegenerate pada energy level yang lebih tinggi. Kenyataannya kelima orbital d tidak sama, yaitu ada orbital eg dan t2g. Disamping itu medan ligand tergantung dari letaknya disekitar ion pusat, artinya apakah strukturnya oktahedral, tetrahedral, atau planar segi empat.
Uraian atau splitting dari orbital d oleh ligan, tegantung dari strukturnya dan berbeda untuk struktur oktahedral dan tetrahedral.
(Effendy,2007)
            Splitting Pada Kompleks Oktahedral
Medan listrik dari ion pusat akan mempengaruhi ligan-ligan sekelilingnya, sedang medan gabungan dari ligan-ligan akan mempengaruhi ion pusat. Pengaruh ligan ini terutama mengenai elektron d dari ion pusat seperti kita ketahui ion kompleks dari logam-logam transisi. Pengaruh ligand tergantung dari jenisnya, trutama pada kekuatan medan listrik dan kedudukan geometri ligand-ligand dalam kompleks.
Di dalam ion bebas kelima orbital d bersifat degenerate artinya mempunyai energi yang sama dan elektron dalam orbital ini selalu memenuhi hukum multiplicity yang maksimal. Pembagian orbital d menjadi 2 golongan yaitu orbital eg dan orbital t2g atau demempunyai arti penting dalam hal pengaruh ligand terhadap orbital-orbital tersebut.
Dengan adanya ligand disekitar ion pusat orbital d tidak lagi degenerate, orbital d ini terbagi menjadi beberapa orbital dengan energi berbeda. Dikatakan juga orbital d ini mengalami spliting.
Pada kompleks oktahedral atom pusat berikatan dengan 6 atom donor. Kompleks oktahedral memiliki tingkat simetri tertinggi apabila ligan-ligan yang terikat pada atom pusat merupakan ligan monodentat monoatom yang sama, seperti: F-, Cl-, Br-, dan I-. Pada pembentukan kompleks octahedral dianggap ada 6 ligan monodentat yang mendekati atom pusat sampai pada jarak tertentu saat ikatan-ikatan antara atom pusat dan ligan-ligan terbentuk.
Pada gambar di atas nampak bahwa orbital dx2-y2 dan dz2 tedapat pada sumbu-sumbu x, y dan z sedangkan orbital dxy, dxz dan dyz terdapat antara sumbu-sumbu. Karena ligan-ligan terdapat pada sumbu x, y dan z maka pengaruh ligan pada orbital eg lebih besar daripada untuk orbital t2g. Setelah terjadi uraian atau spliting orbiltal eg mempunyai energi lebih tinggi daripada orbital t2g. Pada pengisian elektron, orbital t2g akan mengisi lebih dahulu daripada orbital eg. Perbedaan antara orbital eg dan obital t2g biasanya dinyatakan dengan Do atau 10 Dq. Karena pada splitting tidak terjadi kehilangan energi, maka energi orbital eg menjadi 0,6 Do lebih tinggi sedangkan obital t2g menjadi 0,4 Do lebih rendah dari pada enegi kompleks hipotesis. Besarnya Do untuk bermacam-macam kompleks berkisar antara 30-60kcal/mol. Ao artinya D oktahedral, untuk membedakan dengan Dt (tetrahedral) yang akan dibahas selanjutnya.
Elektron akan mengisi orbital d yang energinya rendah, jadi pada orbital t2g. Teori elektrostatik sederhana tidak mengenal adanya orbital d yang mempunyai energi berbeda di dalam kompleks. Karena itu, teori ini menyatakan bahwa elektron d terhadap orbital d merupakan hipotesis yang degenerate. Kenyataannya elektron d tadi menempati orbital t2g yang mempunyai energi 0,4 Do lebih rendah dari orbital hipotesis yang degenerate. Jadi, kompleks akan 0,4 Do lebih stabil dari pada senyawa elektrostatik yang sederhana. Dengan kata lain elektron d dan juga kompleks sebagai keseluruhan, mempunyai energi lebih rendah sebagai hasil penempatan elektron pada orbital t2g, suatu orbital yang relatif jauh dari ligand. Energi sebesar 0,4Do disebut crystal field stabilization energi (CFSE) dari kompleks. Pengisian elekton pada orbital d, dipengaruhi oleh kekuatan medan dari ligand. Untuk ligand yang kekuatan medannya besar atau strong ligand field, splitting yang terjadi menghasilkan perbedaan energi yang besar, akibatnya elektron akan mengisi penuh energi yang rendah sebelum mengisi orbital yang energinya tinggi (Effendy,2004).
Splitting Pada Kompleks Tetrahedral
Dari gambar di atas terlihat bahwa obital t2g lebih dekat kepada ligan-ligan daripada orbital eg. Garis yang menghubungkan letak ligan dan titik pusat kubus dengan arah orbital eg membentuk sudut sebesar 54044˚ sedangkan garis tersebut dengan arah orbital t2g membentuk sudut 36016˚. Medan listrik yang terjadi pada pembentukan kompleks tetrahedral menyebabkan pemisahan orbital d pada ion pusat. Karena hal ini maka dalam medan tetrahedral, orbital t2g mendapat pengaruh yang lebih besar dari ligan, akibatnya energy level orbital t2g naik dan orbital eg turun. Perbedaan energi ini biasanya disebut Dt, artinya D yang harganya lebih kecil dari pada Do. Hal ini disebabkan karena, pada medan tetrahedral hanya ada 4 ligan. Sedanbg pada medan oktahedral ada 6 ligan, ditambah lagi tidaka adanya ligan yang langsung searah dengan orbital d pada medan tetrahedral. Bila jarak ligan dai pusat sama dan bila ikatan dianggap elektrostatik murni, maka diperoleh bahwa : D tetrahedral ~ 4/9 D octahedral (Efendy,2004).
Harga 10 dq dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya :
1.      Muatan ion logam

Makin banyak muatan ion,makin besar pula harga 10 Dq nya,karena makinbanyak muatan ion logam maka makin besar pula untuk menarik ligan lebih dekat.Akibatnya  pengaruh ligan makin kuat sehingga pembelahan orbital makin besar.

2.      Jenis Ion pusat 

Logam logam yang terletak pada satu periode, harga 10 dqnya tidak terlalu berbeda. Untuk satu golongan, Semakin kebawah, harganya akan semakin besar.


3.      Ligan

Semakin kuat ligannya, maka 10 dq juga akan semakin besar. Jika 10 dq kecil, makaligannya adalah ligan lemah. Ligan yang kuat dapat menggantikan ligan yang lebihlemah.Harga  10  dq  dapat  memberikan  beberapa  informasi  mengenai  warna kompleks, serta sifat kemagnetan kompleks. Untuk mengeksitasi elektron dari tingkat dasar ke tingkat yang lebih atas, diperlukan energi. Energi yang diserap memilikipanjang gelombang tertentu. Sedangkan, warna kompleks yang tampak adalah warnakomplementer yang panjang gelombangnya diserap untuk eksitasi electron.

Perhitungan CFSE
Crystal field st Hans Bethe abilizationenergy berubah – ubah sesuai dengan struktur dan jenis ion kompleks. Perbedaan energi orbital t2g dan eg Hans Bethe untuk kompleks tetrahedral -4/9 kali untuk kompleks octahedral orbital t2g mempunyai energi 0,27 ∆ lebih rendah dari pada kompleks hipotesis, bila ∆ adalah ∆ , untuk kompleks tetrahedral : CFSE = (0,27y – 0,18x) ∆.  y merupakan  jumlah elektron di orbital e dan x merupakan jumlah elektron di orbital t2g.
Pada gambar splitting oktahedral terlihat bahwa orbital t2g mempunyai energi 0,4 Io dan energi pada orbital eg adalah 0,6 Io sehingga untuk menghitung CFSE = (0,4 x – 0,6 y) Io. Dimana x = jumlah elektron di orbital t2g dan y = jumlah elektron di orbital eg. Contoh jumlah elektron d = 7, t2g = 5 dan eg = 2.
CFSE  = (0,4 x – 0,6 y) Io
           = (0,4 . 5 – 0,6 . 2 ) Io
           = (2 – 1,2 ) Io
           = 0,8 Io
Jadi dengan kata lain CFSE dapat dihitung dengan rumus umum, yaitu :
CFSE =energi pada t2g.x –(energi dari eg .y)

Berikut ini dicantumkan tabel nilai umum CFSE pada kompleks oktahedral, tetrahedral dan planar segiempat (Sokardjo,1992).
DAFTAR PUSTAKA
Effendy.2007.Kimia Koordinasi Jilid 1.Malang:Bayumedia
Sukardjo.1992.Kimia Koordinasi.jakarta:Rineka Cipta
Oxtoby dkk. 2001. Prinsip-prinsip kimia modern 2.jakarta. Erlangga
Raymond chang. 2004. Kima dasar konsep-konsep inti jilid 2. Jakarta. Erlangga

By ika fitri u 1408 100 088





Teori Medan Kristal by faizatur

Teori medan kristal yang dikemukakan Bethe dilandasi oleh tiga asumsi yaitu :
1. Ligan ligan diperlakukan sebagai titik-titik bermuatan
2. Interaksi anatara ion logam dengan ligan-ligan dianggap sepenunya sebagai interaksi elektrostatik(ionik). Apabila ligan yang ada merupakan ligan netral seperti NH3, dan H2O, maka dalam interaksi tersebut ujung negatif dari dipol dalam molekul-molekul netral diarahkan terhadap ion logam
3. Tidak terjadi interaksi antara orbital-orbital dari ion logam dengan orbital-orbital dari ligan.
4. H2O, maka dalam interaksi tersebut ujung negatif dari dipol dalam molekul-molekul netral diarahkan terhadap ion logam 5. Tidak terjadi interaksi antara orbital-orbital dari ion logam dengan orbital-orbital dari ligan.
Menurut medan kristal atau crystal field theory (CFT), ikatan antara atom pusat dan ligan dalam kompleks berupa ikatan ion, hingga gaya yabng ada hanya berupa gaya elektrostatik. Ion kompleks tersusun dari ion pusat yang dikelilingi oleh ion-ion lawan atau molekul-molekul yang mempunyai momen dipole permanen. Medan listrik dari ion pusat akan mempengaruhi ligand-ligand sekelilingnya, sedang medan gabungan dari ligand-ligand akan mempengaruhi elektron-elektron dari ion pusat. Pengaruh ligan ini terutama mengenai elektron d dari ion pusat dan ion kompleks dari logam - logam transisi. Pengaruh ligand tergantung dari jenisnya, terutama pada kekuatan medan listrik dan kedudukan geometri ligand-ligand dalam kompleks. Didalam ion bebas kelima orbital d bersifat degenerate artinya mempunyai energy yang sama dan elektron dalam orbital ini selalu memenuhi hukum multiplicity yang maksimal. Teori medan kristal terutama membicarakan pengaruh ligand yang tersusun secara berbeda-beda disekitar ion pusat terhadap energi dari orbital d. Pembagian orbital d menjadi dua golongan yaitu orbital eg atau dj dan orbital t2g atau de mempunyai arti penting dalam hal pengaruh ligan terhadap orbital-orbital tersebut. Dengan adanya ligand disekitar ion pusat orbital d tidak lagi degenerate, orbital d ini terbagi menjad beberapa orbital dengan energi berbeda. Dikatakan juga orbital d ini
mengalami spilitting. Ligand didalam ion kompleks berupa ion-ion negatif seperti F- dan CN- atau berupa molekul-molekul polar dengan muatan negatifnya mengarah pada ion pusat seperti H2O atau NH3. Ligand ini akan menimbulkan medan listrik yang akan menolak elektron terutama elektron d dari ion pusat. Penolakan ini menyebabkan energi level orbital d dari ion pusat bertambah. Bila kelima orbital d sama dengan dan medan ligand mempengaruhi kelimanya dengan cara yang sama maka kelima orbital d ini akan tetap degenerate pada energy level yang lebih tinggi. Kenyataannya kelima orbital d tidak sama, yaitu ada orbital eg atau d γ dan t2g atau d e. Disamping itu medan ligand tergantung dari letaknya disekitar ion pusat, artinya apakah strukturnya oktahedral, tetrahedral, atau planar segi empat. Akibat dari orbital d diurai oleh medan ligand, peristiwa ini disebut uraian medan ligand atau crysral field spilitting. Dari percobaan diperoleh bahwa ada ligand-ligand yang menghasilkan medan listrik yang kuat dan disebut strong ligand field, ada ligand yang sebaliknya dan disebut weak ligand field. Berhubungan dengan ini ligand dapat disusun dalam suatu spectrochemical series sesuai dengan kekuatan medannya.

Pengisisan elektron pada orbital d
Pengisian elekton pada orbital d, dipengaruhi oleh kekuatan medan dari ligand. Untuk ligand yang kekuatan medannya besar atau strong ligand field, splitting yang terjadi menghasilkan perbedaan energi yang besar, akibatnya elektron akan mengisi penuh energi yang rendah sebelum mengisi orbital yang energinya tinggi. Pengisian elektron orbital d pada medan octahedral
Perhitungan CFSE
Crystal field st Hans Bethe abilizationenergy berubah – ubah sesuai dengan struktur dan jenis ion kompleks. Perbedaan energi orbital t2g dan eg Hans Bethe untuk kompleks tetrahedral ~4/9 kali untuk kompleks oktahedral.orbital t2g mempunyai energi 0,27 Δ lebih rendah dari pada kompleks hipotesis, bila Δ adalah Δ .untuk kompleks tetrahedra:
 CFSE = (0,27y – 0,18x) Δ˳
y = jumlah elektron di orbital eg dan
x = jumlah elektron di orbital t2g.
Pada splitting oktahedral terlihat bahwa orbital t2g mempunyai energy 0,4 Io dan energi pada orbital eg adalah 0,6 Io sehingga untuk menghitung CFSE = (0,4 x – 0,6 y) Io . Dimana x = jumlah elektron di orbital t2g dan y = jumlah electron di orbital eg.
Contoh
 jumlah elektron d       = 7, t2g = 5 dan eg = 2. CFSE = (0,4 x – 0,6 y) Io
= (0,4 . 5 – 0,6 . 2 ) Io = (2 – 1,2 ) Io
= 0,8 Io
Jadi dengan kata lain CFSE dapat dihitung dengan rumus umum
CFSE =energi pada t2g.x –(energi dari eg .y)
  
Spektra
Banyak kompleks logam transisi memiliki warna yang khas. Hal ini berarti ada absorpsi di daerah sinar tampak dari elektron yang dieksitasi oleh cahaya tampak dari tingkat energi orbital molekul kompleks yang diisi elektron ke tingkat energi yang kosong. Bila perbedaan energi antar orbital yang dapat mengalami transisi disebut ∆Ε, frekuensi absorpsi ν diberikan oleh persamaan ∆Ε = h ν. Transisi elektronik yang dihasilkan oleh pemompaan optis (cahaya) diklasifikasikan secara kasar menjadi dua golongan. Bila kedua orbital molekul yang memungkinkan transisi memiliki karakter utama d, transisinya disebut transisi d-d atau transisi medan ligan, dan panjang gelombang absorpsinya bergantung sekali pada pembelahan medan ligan. Bila satu dari dua orbital memiliki karakter utama logam dan orbital yang lain memiliki karakter ligan, transisinya disebut  transfer muatan. Transisi transfer muatan diklasifikasikan atas transfer muatan logam ke ligan (metal (M) to ligand (L) charge-transfers (MLCT)) dan transfer muatan ligan ke logam (LMCT).
Karena analisis spektra kompleks oktahedral cukup mudah, spektra kompleks ini telah dipelajari dengan detail beberapa tahun. Bila kompleks memiliki satu elektron d, analisisnya sangat sederhana. Misalnya, Ti dalam [Ti(OH2)6]3+ adalah ion d1, dan elektronnya menempati orbital t2g yang dihasilkan oleh pembelahan medan ligan oktahedral. Kompleksnya bewarna ungu akibat absorpsi pada 492 nm (20300 cm-1) (Gambar 6.13) berhubungan dengan pemompaan optis elektron d ke orbital eg. Namun, dalam kompleks dengan lebih dari satu elektron d, ada interaksi tolakan antar elektron, dan spektrum transisi d-d memiliki lebih dari satu puncak. Misalnya kompleks d3 [Cr(NH3)6]3+ menunjukkan dua puncak absorpsi  d-d pada 400 nm (25000 cm-1), menyarankan bahwa komplkesnya memiliki dua kelompok orbital molekul yang memungkinkan transisi elektronik dengan probabilitas transisi uang besar. Hal ini berarti, bila tiga elektron di orbital t2g dieksitasi ke orbital eg, ada perbedaan energi karena interaksi tolakan antar elektron.
Diagram Tanabe-Sugano dibangun dengan perhitungan berdasarkan teori medan ligan dan telah digunakan secara luas dalam analisis spektra absorpsi ion d1 sampai d9. Analisisnya menjadi semakin sukar untuk ion dengan banyak elektron.  Dalam setiap kasus, keberadaan spektrum d-d mensyaratkan bahwa perbedaan energi orbital yang terisi dan yang kosong ekuivalen dengan energi spektrum UV-visibel, transisinya diperbolehkan oleh aturan seleksi, dan kebolehjadian transisinya cukup tinggi. Biasanya, absorpsi transfer muatan lebih kuat daripada transisi absorpsi medan ligan. LMCT akan muncul bila ligan memiliki pasangan elektron non-ikatan yang energinya cukup tinggi atau logamnya memiliki orbital berenergi rendah yang kosong. Di lain pihak, MLCT akan muncul bila ligan memiliki orbital  π* berenergi rendah, dan kompleks bipiridin adalah contoh baik yang memenuhi syarat ini. Karena waktu hidup keadaan tereksitasi kompleks rutenium biasanya sangat panjang, banyak studi yang telah dilakukan untuk mempelajari reaksi fotoredoksnya.
Deret spektrokimia
Besarnya parameter pembelahan medan ligan  ∆0 ditentukan oleh identitas ligan. Suatu aturan empiris yang disebut deret spektrokimia telah diusulkan oleh kimiawan Jepang Rutaro Tsuchida. Aturan ini dibangun dari data empiris yang dikumpulkan bila diukur spektra kompleks yang memiliki atom pusat, bilangan oksidasi dan bilangan koordinasi, dsb sama. Penting dicatat bahwa ligan dengan sifat akseptor π memiliki posisi yang tinggi dalam deret ini.
Walaupun ∆0 menjadi lebih besar dalam urutan ini, urutan ini bergantung pada identitas atom pusat dan bilangan oksidasinya. Yakni, ∆o lebih besar untuk logam 4d dan 5d daripada logam 3d dan menjadi lebih besar dengan meningkatnya bilangan oksidasi. Besarnya ∆0 berhubungan erat dengan posisi spektrum elektromagnetik, dan merupakan faktor kunci dalam menentukan posisi ligan dalam deret spektrokimia. Ligan donor π (halogen, aqua, dsb.) membuat panjang gelombang absorpsi lebih besar, dan ligan akseptor π (karbonil, olefin, dsb.) memperpendek panjang gelombang absorpsi dengan kontribusi dari ikatan π.

Sumber :
Saito, T.1996. “KimiaAnorganik”. Iwanami Shoten, Publishers, Tokyo


By faizatur rohmah 1408 100 070

TEORI SENYAWA KOMPLEKS

1.     Kompleks bujur sangkar
Kompleks dengan empat ligan dalam bidang yang mengandung atom logam di pusatnya disebut kompleks bujur sangkar. Dengan menempatkan enam ligan di sumbu koordinat Cartesian, kemudian dua ligan perlahan-lahan digeser dari atom pusat dan akhirnya hanya empat ligan yang terikat terletak di bidang xy.Interaksi dua ligan di koordinat z dengan orbital dz2, dxz, dan dyz menjadi lebih kecil dan tingkat energinya menjadi lebih rendah. Di pihak lain empat ligan sisanya mendekati atom logam dan tingkat energi dx2-y2 dan dxy naik akibat pergeseran dua ligan. Hal ini menghasilkan urutan tingkat energinya menjadi dxz, dyz < dz2 < dxy << dx2-y2 (Gambar 6.7). Kompleks Rh+, Ir+, Pd2+, Pt2+, dan Au3+ dengan konfigurasi d8 cenderung membentuk struktur bujur sangkar sebab 8 elektron menempati orbital terendah dan orbital tertinggi dx2-y2 kosong.
1.     Medan kristal oktahedron
Jika pemisahan orbital-d pada medan oktahedron adalan Δoct, tiga orbital t2g distabilkan relatif terhadap sentroid sebesar 2/5 Δoct, dan orbital-orbital eg didestabilkan sebesar 3/5 Δoct. Stabilisasi medan kristal dapat digunakan dalam menjelaskan geometri kompleks logam transisi. Alasan mengapa banyak kompleks d8 memiliki geometri datar persegi adalah karena banyaknya stabilisasi medan kristal yang dihasilkan struktur geometri ini dengan jumlah elektron 8.

2.     Kompleks tetrahedral
Kompleks tetrahedral memiliki empat ligan di sudut tetrahedral di sekitar atom pusat. Obital e (dx2-y2, dz2) terletak jauh dari ligan dan orbital t2 (dxy, dyz, dxz) lebih dekat ke ligan. Akibatnya, tolakan elektronik lebih besar untuk orbital t2, yang didestabilkan relatif terhadap orbital e. Medan ligan yang dihasilkan oleh empat ligan membelah orbital d yang terdegenerasi menjadi dua set orbital yang terdegenarsi rangkap dua  eg dan yang terdegenarsi rangkap tiga tg. Set t2 memiliki energi +2/5 ∆t dan set e memiliki enegi -3/5 ∆t dengan pembelahan ligan dinyatakan sebagai ∆t. Karena jumlah ligannya hanya 4/6 = 2/3 dibandingkan jumlah ligan dalam kompleks oktahedral, dan tumpangtindih ligannya menjadi lebih kecil maka pembelahan ligan ∆t sekitar separuh ∆o. Hanya konfigurasi elektron spin tinggi yang dikenal dalam kompleks tetrahedral. Energi pembelahan ligan dihitung dengan metoda di atas sebagaimana diperlihatkan dalam Tabel dibawah ini:
1.     Efek Jahn-Teller
Distorsi molekuler  karena adanya degradasi elektronik  ground state. Untuk entitas molekul  linear -non geometri yang diuraikan oleh  simetri memiliki degradasi tereduksi ,setidaknya satu getaran non- simetris total yang membuat elektronik terdegradasi  tidak stabil pada saat  geometri ini. Inti yang mengungsi ke posisi simetri rendah ekuilibrium baru menyebabkan pemisahan suatu dari degradasi ground state.Bila orbital molekul poliatomik nonlinear terdegenerasi, degenerasinya akan dihilangkan dengan mendistorsikan molekulnya membentuk simetri yang lebih rendah dan akhirnya energinya lebih rendah. Inilah yang dikenal dengan efek Jahn-Teller dan contoh khasnya adalah distorsi tetragonal dari kompleks oktahedral kompleks Cu2+ heksakoordinat.
Ion Cu2+ memiliki konfigurasi d9 dan orbital eg dalam struktur oktahedral diisi oleh tiga elektron. Bila orbital eg membelah dan dua elektron menempati orbital yang lebih rendah dan satu elektron di orbital yang lebih atas, sistemnya akan mendapatkan energi sebesar separuh perbedaan energi, δ, dari pembelahan orbital. Oleh karena itu distorsi tetragonal dalam sumbu z disukai.
n  Bila orbital molekul poliatomik non linear terdegenerasi, generasi dihilangkan , dan mendistorsi molekul membentuk simetri lebih rendah. Contoh: Kompleks oktahedral Cu2+ mengalami  distorsi tetragonal.
n  Cu 2+  =  d9 , eg diisi  3e- , eg membelah, 2e- menempati orbital lebih rendah , 1e- menempati orbital lebih atas , Sistemnya akan mendapat energi = ½ D 


1.     CFSE
Energi stabilisasi medan kristal (CFSE), adalah stabilitas yang dihasilkan dari penempatan ion logam pada medan kristak yang dibentuk oleh sekelompok ligan-ligan. Ia muncul karena ketika orbital-d terpisah pada medan ligan, beberapa dari orbital itu akan memiliki energi yang lebih rendah. Sebagai contoh, pada kasus oktahedron, kelompok orbital t2g memiliki energi yang lebih rendah dari energi orbital pada sentroid. Sehingga, jika terdapat sembarang elektron yang menempati orbital-orbital ini, ion logam akan menjadi lebih stabil pada medan ligan relatif terhadap sentroid dengan nilai yang dikenal sebagai CFSE. Sebaliknya, orbital-orbital eg (pada kasus oktaheral) memiliki energi yang lebih tinggi daripada sentroid, sehingga menempatkan elektron pada orbital tersebut menurunkan CFSE.


2.     Warna kompleks logam transisi
Warna-warna cerah yang terlihat pada kebanyakan senyawa koordinasi dapat dijelaskan dengan teori medan kristal ini. Jika orbital-d dari sebuah kompleks berpisah menjadi dua kelompok seperti yang dijelaskan di atas, maka ketika molekul tersebut menyerap foton dari cahaya tampak, satu atau lebih elektron yang berada dalam orbital tersebut akan meloncat dari orbital-d yang berenergi lebih rendah ke orbital-d yang berenergi lebih tinggi, menghasilkan keadaam atom yang tereksitasi. Perbedaan energi antara atom yang berada dalam keadaan dasar dengan yang berada dalam keadaan tereksitasi sama dengan energi foton yang diserap dan berbanding terbalik dengan gelombang cahaya. Karena hanya gelombang-gelombang cahaya (λ) tertentu saja yang dapat diserap (gelombang yang memiliki energi sama dengan energi eksitasi), senyawa-senyawa tersebut akan memperlihatkan warna komplementer (gelombang cahaya yang tidak terserap).
Ligan-ligan yang berbeda akan menghasilkan medan kristal yang energinya berbeda-beda pula, sehingga kita bisa melihat warna-warna yang bervariasi. Untuk sebuah ion logam, medan ligan yang lebih lemah akan membentuk kompleks yang Δ-nya bernilai rendah, sehingga akan menyerap cahaya dengan λ yang lebih panjang dan merendahkan frekuensi ν. Sebaliknya medan ligan yang lebih kuat akan menghasilkan Δ yang lebih besar, menyerap λ yang lebih pendek, dan meningkatkan ν. Sangtalah jarang energi foton yang terserap akan sama persis dengan perbedaan energi Δ; terdapat beberapa faktor-faktor lain seperti tolakan elektron dan efek Jahn-Teller yang akan mempengaruhi perbedaan energi antara keadaan dasar dengan keadaan tereksitasi.
Warna-warna yang terlihat
Roda warna mendemonstrasikan warna senyawa yang akan terlihat jika ia hanya menyerap satu gelombang cahaya. Sebagai contoh, jika senyawa tersebut menyerap warna merah, maka ia akan tampak hijau.
λ diserap vs warna terpantau:
400nm Ungu diserap, Hijau-kuning terpantau (λ 560nm); 450nm Blue diserap, Kuning terpantau (λ 600nm); 490nm Biru-hijau diserap, Merah terpantau (λ 620nm); 570nm Kuning-hijau diserap, Ungu terpantau (λ 410nm); 580nm Kuning diserap, Biru tua terpantau (λ 430nm); 600nm Jingga diserap, Biru terpantau (λ 450nm); 650nm Merah diserap, Hijau terpantau (λ 520nm).


Referensi
D. F. Shriver and P. W. Atkins Inorganic Chemistry 3rd edition, Oxford University Press, 2001.
Miessler, G. L. and Tarr, D. A. (2003) Inorganic Chemistry 3rd edition, New Jersey: Pearson Prentice Hall.
http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_medan_kristal
http//old.iupac.org .goldbook
www.chem-is-try.org ,kimia anorganik-logam transisi-kompleks
by:Hamidatul K (1408100038)







Logam Transisi

Unsur-unsur golongan transisi adalah unsur  logam yang memiliki kulit elektron d atau f yang tidak penuh dalam keadaan netral atau kation. Unsur golongan transisi mempunyai 53 unsur.
Gambar 1 klasifikasi unsur-unsur dalam sistem periodik
                                                                                                                                                          ( Saito, 1996 )
Unsur-unsur golongan transisi terbagi atas 3 deret yaitu :
·         Deret pertama ( transisi ringan): periode 4
·         Deret kedua ( transisi berat ): periode 5
·         Deret ketiga : Lantanida

Ciri-ciri logam transisi :
·         Mempunyai biloks lebih dari satu
·         Orbital d yang belum penuh
·         Ionnya berwarna-warni
·         Dapat membentuk senyawa kompleks
·         Sebagai katalis
                                                                                                                                                (Martak, 2010 )
Sifat logam transisi blok d sangat berbeda antara logam deret pertama (3d) dan deret kedua (4d), walaupun perbedaan deret kedua dan ketiga (5d) tidak terlalu besar.  Jari-jari logam dari skandium sampai tembaga (166 sampai 128 pm) lebih kecil daripada jari-jari tritium, Y, sampai perak, Ag, (178 sampai 144 pm) atau jari-jari, lantanum, sampai emas (188 sampai 146 pm). Lebih lanjut, senyawa logam transisi deret pertama jarang yang berkoordinasi 7, sementara logam transisi deret kedua dan ketiga dapat berkoordiasi 7-9.  Cerium, Ce, (dengan radius 182 pm) ~ lutetium, Lu, (dengan radius 175 pm) terletak antara La dan Hf dan karena kontraksi lantanoid, jari-jari logam transisi deret kedua dan ketiga menunjukkan sedikit variasi.
Logam transisi deret kedua dan ketiga berbilangan oksida lebih tinggi  lebih stabil dari pada keadaan oksidasi tinggi logam transisi deret pertama.  Contohnya meliputi tungsten heksakhlorida, WCl6, osmium tetroksida, OsO4, dan platinum heksafluorida, PtF6.  Senyawa logam transisi deret pertama dalam bilangan oksidasi tinggi adalah oksidator kuat dan oleh karena itu mudah direduksi. Di pihak lain, sementara senyawa M(II) dan M(III) umum dijumpai pada  logam transisi deret pertama, bilangan oksidasi ini jarang dijumpai pada unsur-unsur di deret kedua dan ketiga.  Misalnya, hanya dikenal sedikit senyawa Mo(III) atau W(III) dibandingkan dengan senyawa Cr(III).  Ion akua (ion dengan ligan air) sangat umum dalam logam transisi deret pertama tetapi ion yang sama untuk logam transisi deret kedua dan ketiga jarang diamati ( Saito, 1996 ).
            
Logam transisi sebagai katalis
·         Besi pada Proses Haber
·         Nikel pada hidrogenasi ikatan C=C

Senyawa-senyawa logam transisi sebagai katalis
·         Vanadium ( V ) oksida pada proses Contact

Ion-ion besi pada reaksi antara ion-ion persulfat dan ion-ion iodida
Reaksi di katalisis oleh keberadaan salah satu diantara ion besi(II) atau ion besi(III).
                                                                                                                       ( Clark, 2007 )

DAFTAR PUSTAKA
Clark,Jim,(2007),”Ciri-ciri Umum Kimia Logam transisi”, chem-is-try.org
Martak, Fahimah,(2010),”Transition Metal.ppt”
Saito,Taro,(1996),”Kimia Anorganik”, Iwanami Shoten, Tokyo 

by : Ciccyliona D.Y 1408 100 018